Meluruskan Fakta Sejarah Pangeran Diponegoro

Bangsa Indonesia bisa merdeka karena mereka. Mereka adalah para pahlawan yang sudah berani berjuang melawan di zaman penjajahan belanda dan jepang dahulu sebelum kemerdekaan RI. Mereka rela mengorbankan nyawa untuk kita yang mereka sama sekali tidak kenal siapa kita. Namun, tidak ada salahnya kita mengenal mereka dan sejarah perjuangan mereka sebagai bekal semangat kita dalam mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang produktif dan berguna bagi penerus kita selanjurnya.

Banyak para pahlawan yang sudah berjuang, salah satunya adalah Pangeran Dipenogoro, yang fotonya sering terpampang di sekolah-sekolah dasar, smp, dan sma. Ada hal yang mungkin belum di ketahui fakta sebenarnya mengenai Pangeran Dipenogoro, agar tidak ada kekeliruan maka ada informasi dari republika.co.id berikut bisa di jadikan referensi bacaan tentang Pangeran Dipenogoro.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era Soeharto, Profesor Wardiman Djojonegoro mengungkapkan, kebanyakan sumber fakta yang tertulis dalam buku sejarah berasal dari Belanda. Lalu fakta ini terus berlanjut hingga sampai sekarang di bangku-bangku sekolah. “Padahal itu tidak sesuai dengan fakta,” kata Wardiman kepada wartawan di SMPN 20 Kota Malang, Sabtu (13/7).

Namun fakta yang dulu sempat tertutupi, kini mulai terkuak setelah Sejarawan, Peter Carey menuliskan sejumlah buku. Fakta-fakta yang tertulis dalam bukunya berhasil mencerahkan pengetahuan bangsa tentang Pangeran Diponegoro. Dari tulisan-tulisan luar biasa ini, Wardiman mencoba menyimpulkannya dalam buku Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa 1825-1830.

“Dan tujuan buku ini untuk melihat sejarah Diponegoro dari sisi lain. Sisi ilmiah yang lebih dipertanggungjawabkan karena sejarah Diponegoro sebelumnya dari Belanda,” tegasnya.

Wardiman menyebutkan, salah satu fakta yang selama ini dibelokkan Belanda dalam buku sejarah. Pada sumber Belanda, Diponegoro dinilai telah sakit hati terhadap kolonial dan keraton. Padahal, tindakan Diponegoro karena ingin melepas rakyat miskin dari sistem pajak Belanda yang memberatkan. 

“Moralitas istana juga jelek sekali, madat (candu–red). Dan di sini Diponegoro ingin menjadi ratu adil,” katanya.

Sumber https://republika.co.id/berita/pukwyo396/meluruskan-fakta-dalam-sejarah-pangeran-diponegoro

Semoga bermanfaat, wassalam.

Romusha, Luka Bangsa yang Tidak Pernah Kering

romusa
ROMUSHA adalah tenaga kerja paksa pada masa pendudukan bala tentara Jepang. Tenaga kerja paksa ini diambil secara acak oleh militer Jepang, dengan melibatkan aparatur pemerintah, dan sejumlah pemimpin pergerakan rakyat.

 

 

Jepang memerlukan romusha itu untuk mengerjakan proyek-proyek militer mereka, baik yang ada di daerah pendudukan, maupun di luar Indonesia. Para pekerja ini terdiri dari laki-laki desa miskin, yang berusia antara 16-60 tahun.

Lagu Propaganda Jepang Romusha Barisan Pekerdja

Sementara kaum lelaki dijadikan romusha, kaum perempuan dipaksa membajak sawah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Sedang anak gadis mereka dijadikan budak seks tentara Jepang yang ada di garis depan peperangan.

Baca Juga:
Kota Surabaya dan Sepenggal Kisah Pemanjat Siwalan
Buya Hamka, Ketua MUI Pertama yang Memilih Mundur dari Jabatannya
Banyak di antara romusha dikirim ke Sumatera, bahkan sampai ke Birma, Thailand, dan pulau-pulau bagian timur. Dari kira-kira 500.000 orang yang dikirim kerja paksa, hanya sebagian kecil saja yang kembali setelah perang usai.

Menurut WF Wertheim, dari sekitar 300.000 jiwa yang dikirim ke seberang lautan, hanya sekitar 70.000 orang saja yang selamat dan bisa kembali ke kampung halaman mereka setelah perang. Sisanya, meninggal dalam kerja paksa.

Para romusha itu diangkut dengan menggunakan truk-truk dalam perjalanan yang jauh di daerah pendudukan, dan dalam gerbong-gerbong kereta tertutup rapat tanpa udara, dengan jumlah ribuan orang berjejalan ke luar Indonesia.

Sampai tempat kerja paksa, para romusha dibelenggu berdampingan dengan para tahanan perang untuk membuat jalan raya Birma. Selama kerja paksa itu, mereka dibiarkan kelaparan hingga tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.

Penggambaran lebih rinci dan jelas mengenai nasib romusha, diceritakan panjang lebar oleh Tan Malaka. Saat dalam perjalanan menuju pabrik arang Bayah Kozan, di Banten Selatan, Tan Malaka melewati sepanjang Jalan Saketi-Bayah.

Tan Malaka menulis, Jalan Saketi-Bayah menyimpan sejarah yang menyedihkan. Bahkan tak kalah sedihnya dengan jalan Anyer ke Banyuwangi pada masa Deandels, yang memakan ribuan jiwa orang Indonesia buat imperialisme Belanda.

“Pembikinan jalan Saketi-Bayah juga memakan ribuan (jiwa) tenaga percuma, tenaga romusha, dan jiwanya romusha,” terang Tan Malaka, seperti dikutip dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua, pada halaman 321.

Selain jalan Saketi-Bayah, proyek kerja paksa yang banyak menelan jiwa romusha adalah pulau Manuk yang berada 5-6 kilometer dari kampung Bayah. Di kawasan ini, romusha dibiarkan mati terserang borok, disentri, dan malaria.

Karena kurangnya perhatian umum, dan tenaga penggali kubur, mayat romusha yang jumlahnya puluhan ditumpuk saja dalam satu lubang besar. Hingga setiap hujan turun, mayat-mayat itu mengambang naik ke atas permukaaan.

Para romusha itu banyak yang berasal dari Solo, Kediri, Bojonegoro, dan daerah pedalaman Jawa lainnya. Rata-rata mereka berprofesi sebagai petani miskin, dan buta huruf yang diambil secara paksa oleh aparatur desanya.

Pihak aparatur desa yang paling bertanggung jawab dalam mengirimkan rakyatnya menjadi romusha adalah kepala desa atau lurah, dan camat setempat. Jumlah romusha yang dikirimkan setiap minggunya mencapai 1.000 orang lebih.

Selain oleh aparatur pemerintah, pengerahan rakyat menjadi romusha juga dilakukan oleh elite politik lokal maupun nasional. Para elite ini biasanya melakukan propaganda kepada rakyat agar mau menjadi romusha di luar daerah.

Di Keresidenan Pekalongan, elite politik lokal yang aktif mengirimkan romusha kepada Jepang berasal dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), di mana Soekarno terlibat aktif dalam propaganda kemenangan Asia Timur Raya.

Seperti yang dilakukan oleh Kartoharjo, pengikut setia Soekarno dari Brebes. Dia terlibat mengirimkan romusha ke Bayah, wilayah Banten Selatan, dan membawa 300 romusha yang sakit dan mati selama mengikuti kerja paksa.

Setiap romusha dalam satu proyek dengan proyek yang lain mendapatkan upah berbeda. Di Banten Selatan, mereka yang paling kuat dikirim bekerja di tambang dengan upah F.1,- sehari, dan mendapat jatah beras 400 gram sehari.

Sedang mereka yang bekerja sebagai pemotong kayu di hutan, mencangkul di jalan, dan mengangkut batu, hanya dibayar antara F.0,40,- sehari, dengan jatah beras 250 gram seorang seharinya. Para romusha ini dikontrak tiga bulan.

Setelah kontrak tersebut selesai, mereka diperbolehkan pulang ke kampung halaman dan rumah masing-masing. Namun, sangat sedikit romusha yang bisa kembali pulang ke kampung halaman, dan rumah mereka saat kontraknya habis.

“Angka kematian romusha pada saat itu berkisar 400-500 orang sebulan, pukul rata 15.000 romusha. Yang sakit di jalan dan mati di desa sebagai akibat bekerja di Bayah, belum lagi masuk hitungan,” sambung Tan Malaka.

Sementara di Banten Selatan romusha banyak berasal dari petani miskin, di Pemalang, romusha banyak berasal dari orang-orang Arab. Sedang orang-orang Cina di sana banyak menyogok hingga terhindar dari kerja paksa romusha.

Orang-orang Arab itu dipaksa membangun proyek pertahanan militer di pinggir pantai. Sekali atau dua kali sebulan, mereka dikirim ke dalam hutan di kawasan selatan Pemalang untuk memotong dan menyusun kayu jati gelondongan.

Dengan melibatkan para pemimpin pergerakan, pejabat tinggi pemerintahan, dan para pedagang dalam proyek romusha itu, Jepang berhasil membuat kewibawaan golongan-golongan tersebut menjadi sangat rendah di mata rakyat.

Soekarno yang berdiri di antara semua golongan tersebut, merupakan yang paling terpukul oleh politik penghancuran ini. Semua cap buruk dilimpahkan dalam pundaknya. Dia dicap sebagai kolaborator Jepang yang menjual rakyat.

Dalam paparannya kepada Cindy Adams, Soekarno mengatakan, romusha merupakan luka bangsa yang tidak pernah kering. Bahkan luka itu akan terbawa hingga dirinya mati. Namun, dia menyatakan, ada harga mahal yang harus dibayar.

“Dalam kenyataannya, aku yang mengirim mereka pergi kerja. Ya, akulah orangnya. Aku mengirim mereka berlayar menuju kematian,” katanya, seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 232.

Soekarno mengakui, sebagai seorang pemimpin pergerakan rakyat, dirinya telah membuat pernyataan-pernyataan yang mendukung pengerahan romusha. Bahkan, dirinyalah yang mengatakan kepada rakyat bahwa menjadi romusha adalah mulia.

“Akulah yang memberikan mereka kepada orang Jepang. Rasanya mengerikan sekali.. Ada orang yang mengatakan, rakyat tidak mau membaca ini.. Tidak seorang pun yang suka kepada kebenaran yang menyedihkan,” sambungnya prihatin.

Lebih lanjut, Soekarno mengatakan, dalam persoalan romusha, ada harga yang harus dibayar. Harga itu adalah suatu kepentingan yang sangat besar, yaitu kemerdekaan Indonesia. Harga itu tidak bisa untuk ditawar-menawar lagi.

“Tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku kolaborator.. Halaman-halaman dari revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Soekarno. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku,” tegas Soekarno, pada halaman 235.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang pengorbanan romusha, dan nilai sebuah kemerdekaan dalam menyongsong hari kemerdekaan Indonesia. Semoga dapat memberikan pencerahan, dan manfaat kepada pembaca.

Sumber Tulisan
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011.
*Benedict R.O.G Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Sinar Harapan, Cetakan Pertama, Jakarta, 1988.
*Anton Lucas, One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah dalam Revolusi Indonesia, Resist Book, Agustus 2004.
*Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara Bagian Dua, Teplok Press, Cetakan Kedua 2000.

Sumber Sindonews.com

https://daerah.sindonews.com/read/1129275/29/romusha-luka-bangsa-yang-tidak-pernah-kering-1470490777

 

sindonews-romusha

Pangeran Dipenogoro

pangeran-dipenogoro

8 januari 1855 wafat nya salah satu raja dan ulama kharismatik tanah jawa BENDARA PANGERAN HARYA DIPANEGARA atau PANGERAN DIPONEGORO di tanah makasaar diusia 69 tahun.

8 January 1855 he died, one of the kings and a charismatic ulama of Javanese land, BENDARA PANGERAN, THE PRESIDENT OF THE COUNTRY, or PANGERAN DIPONEGORO, on the land of Makasaar at the age of 69 years.

pangeran diponegoro memimpin perlawanan terhadap belanda (1825-1830) perang jawa ini didukung 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung Menurut Peter Carey (2016)

selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara mati dan memakan biaya perang 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 28 maret-5 april 1830 dengan cara licik dijebak untuk berunding gencatan senjata lalu di tangkap ketika berunding di magelang dengan pihak belanda Jenderal de kock.

Source INDONESIA TEMPO DOELOE (Komunitas Pemerhati Sejarah)

Peristiwa ‘Geger Cilegon’ tahun 1888

foto-peristiwa-geger-cilegon

Dalam foto tampak para pemberontak petani Banten dalam peristiwa ‘Geger Cilegon’ yang ditangkap VOC, tahun 1888. Foto: KITLV.

Dalam sejarah Indonesia, soal pelarangan mengumandangkan adzan pernah menjadi salah satu pemicu pemberontakan di Cilegon, Banten, yang dikenal dengan Geger Cilegon, yang terjadi pada 9 Juli 1888.

Dalam peristiwa ini, para pemberontak berhasil membunuh 17 orang Belanda serta melukai 7 orang lainnya. Sementara dipihak pemberontak, 30 orang tewas, 11 diantaranya digantung. 13 orang luka-luka dan 94 orang dibuang (diasingkan).

In the photo, the Banten peasant rebels in the ‘Cilegon Concert’ were captured by the VOC, in 1888. Photo: KITLV.

In the history of Indonesia, the question of banning the call to prayer has been one of the triggers of the rebellion in Cilegon, Banten, known as ‘Geger Cilegon’, which occurred on July 9, 1888.

In this incident, the rebels managed to kill 17 Dutch people and injured 7 others. While on the side of the rebels, 30 people were killed, 11 were hanged. 13 people were injured and 94 people were banished (exiled).

Sumber : FB – Indonesia Tempo Doeloe (komunitas pemerhati sejarah)